Skip to main content

[Ind] Daya Imajinasi untuk Pasca-Corona

Idul Fitri merupakan hari yang sangat bahagia bagi umat Islam. Seperti Hari Tahun Baru di Jepang, banyak orang beribadah bersama, keluarga dan kerabat berkumpul, dan hari-hari pergaulan dengan sukacita terus berlanjut.

Dan itulah sebabnya, tahun ini telah menjadi Idul Fitri yang sangat berbeda dari biasa.

Membayangkan seseorang yang menyapa hari ini sendirian karena dia terpisah dari keluarganya dan tidak bisa mudik ke rumah orang tuanya.

Orang tua tentu saja pasti merasa senang bertemu dengan anak-anak yang kembali ke kampung halamannya setahun sekali. Tetapi tahun ini orang tuanya merasakan kesedihan dan kesepian karena tidak dapat bertemu anaknya tahun ini.

Meskipun situasinya parah, ada orang-orang yang menyediakan makanan mereka untuk orang lain. Itu diberitakan di surat kabar Indonesia. Ini bukan hibah dari orang kaya, tetapi bantuan kecil-kecilan dari orang biasa atau sama-sama tidak mampu.

Manusia tidak bisa hidup sendiri. Ini bukan pandangan SDGs seolah-olah dari kalangan atas yang bilang tidak boleh ada yang tertinggal. Penyediaan makanan kecil itu sederhana. Hanya berdasar fari perasaan untuk membantu tetangga yang htetap idup bersama di tempat ini.

Ini mungkin kesempatan untuk berpikir lagi tentang rasa syukur. Manusia tidak harus berpikir balasannya jika melakukan suatu kebaikan. Tidak memikirkan keuntungan dan kerugian dirinya. Tidak menghitung berdasar uang. Tetapi, selalu berpikir kebahagiaan orang lain sudah merasa bersyukur. Mungkin ada ajaran agama juga demikian.

Meskipun Idul Fitri tidak bisa dirayakan dengan meriah, kita tetap bertukar salaman lewat SNS seperti Facebook seperti biasa. Sebaliknya, kita bisa menikmati waktu untuk memikirkan dan merasakan tentang orang lain, sahabat, teman-teman, dan bisa membayangkan mereka juga mungkin demikian. Rasa kebersamaan tidak harus berdasar kebersamaan secara fisik.

Sekarang kontak fisik itu sulit, seperti kunjungan, mungkin ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengembangkan daya imajinasi tentang orang lain. Daya imajinasi tampaknya telah memburuk secara sosial dalam beberapa tahun terakhir. Saya berharap ini akan menjadi awal untuk menciptakan masyarakat yang lebih saling merasakan dan saling memperhatikan dengan rasa hormat setelah Corona berlalu.

Bunga mawar merah di depan stasiun dekat rumah saya di Tokyo

Comments

Popular posts from this blog

[Ind] Mereka Percaya Indonesia Mencintai Jepang

Mungkin ini saya perlu memberitahukan kepada teman-teman orang Indonesia. Ini adalah refleksi pandangan sebagian masyarakat Jepang tentang Indonesia. Beberapa hari yang lalu, ada suatu posting twitter tentang sejarah Indonesia dan Jepang. Jika ada yang bisa baca bahasa Jepang, silahkan membacanya secaralangsung.     Posting Twitter tentang Sejarah Indonesia dan Jepang (bahasa Jepang) ********** Awalnya mulai dari persoalan ujian di suatu universitas swasta. Isinya mahasiswa/i diminta bikin kesimpulan dari tulisan tentang sejarah Indonesia-Jepang. Tulisan tersebut termasuk pendidikan sejarah di Indonesia yang mengatakan bahwa penjajahan tentara Jepang selama 3,5 tahun bisa dikatakan lebih berat daripada penjajahan Belanda. Ditambahnya, pendidikan sejarah di Jepang tidak begitu banyak mengajar apa yang Jepang melakukan di Asia Tenggara termasuk Indonesia pasa waktu Perang Dunia II. Tidak mengajar juga tentang penjajahan tentara Jepang terhadap wilayah Indonesia. Mestinya mahasiswa/i Jepa

[Eng] Start from the Local as Base of Our Life

I was born in Fukushima, Japan, from my father and mother with Japanese nationality. Automatically, I had my Japanese nationality. I did not have any right to choose my nationality. Nothing more than a coincidence. If born in Indonesia from my Indonesian parents, I became an Indonesian. I could not decide to choose the place I was born. If born in the Dutch East Indies 100 years ago, I might have no sense of any nationality. Nothing more than a coincidence. But, after I was born, I had lived with my family at a place. The place is called as my hometown. My place of birth has had a special meaning for my life. Maybe I has lived in several places other than my place of birth. Those places often have special meanings for my life. There are deep memories of my living there. Such place is not regarded as the nation, but as the local. I have special feelings on Fukushima as my place of birth, Tokyo as my current living place with my family, Busan as my first visited foreign city in my life,

[Ind] Kuliah Khusus Online (1) tentang Kusta dan Diskriminasi

Pada tanggal 18 Juli 2020, kami mengadakan Kuliah Khusus Online Yoridori Indonesia (1), mulai pukul 13.00 WIB. Kuliah Khusus ini merupakan kesempatan bagi banyak orang, termasuk tidak hanya pelanggan majalah informasi web "Yorori Indonesia", tetapi juga masyarakat umum. Untuk saat ini, sementara pelaksanaannya secara gratis. Ada keinginan untuk menyebarkan informasi berbagai macam keanekaragaman Indonesia terutama kepada masyarakat Jepang lewat kesempatan ini. Sekaligus, kami mencoba melaksanakan dengan dua bahasa (Jepang dan Indonesia) sesuai dengan permintaan dari pembicara dan ini diharapkan menjadi kesempatan dialog langsung antara orang Indonesia dan orang Jepang di dalam tema yang sama. Dalam acara pertama kali ini, kami mengundang Mr. Yuta Takashima, salah seorang pendiri dan tetap aktif di Yayasan Satu Jalan Bersama, sebuah yayasan yang membantu para pemulih kusta di Indonesia, dengan tema “Berpikir tentang Kusta di Indonesia dan Diskriminasi berdasar Penyakit Menular