Skip to main content

[Ind] Cerita Ibu Kos: Ketakutan menjadi Kesayangan

Kali ini saya sedikit cerita waktu saya pertama kali mulai tinggal di Jakarta pada Agustus 1990. Saya tinggal di Jakarta selama dua tahun sampai Agustus 1992. Ini pertama kali berdomosili dengan KIMS (saat ini KITAS) di Indonesia.

Saya tinggal di Jakarta sebagai overseas research fellow dari kantor saya, Institute of Developing Economies (IDE), Tokyo, Jepang. IDE menugaskan kepada staf peneliti untuk tinggal di negara sasaran penelitiannya. Sebagai staf peneliti Indonesia, saya memilih tinggal di Indonesia selama dua tahun. Waktu itu, status saya di Indonesia sebagai mahasiswa S-2 UI.

Biasanya, overseas research fellow menyewa rumah sendiri dan mobil sendiri seperti diplomat atau staf-staf perusahaan Jepang yang dikirim dari kantor pusat di Jepang.

Namun, sebagai  calon ahli Indonesia di kantor saya, saya merasa harus berusaha tahu dan mengerti secara dalam dan benar dengan penuh pergaulan dengan masyarakat Indonesia sehari-hari. Maka, saya sengaja mencari indikos di wilayah Jakarta yang mana jumlah orang asing dan orang Jepangnya sedikit.

Sebelum berangkat ke Indonesia, saya mencoba konsultasi kepada guru bahasa Indonesia saya. Dia adalah mahasiswa orang Indonesia yang sedang belajar di salah satu universitas di Tokyo dan berasal dari Jakarta.

Guru bahasa Indonesia saya bertanya kepada orang tuanya. Orang tusanya tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur, dan kebetulan beragama Katolik. Menurut orang tuanya, beliau tidak bisa menerima indikos saya dan mau konsultasi kepada teman di gereja. Akhirnya, teman tersebut setuju menerima indikos saya.

Saya tiba di Jakarta pada 30 Agustus 1990. Tanpa menginap di hotel, saya langsung menuju ke rumah indikos di Rawamangun. Langsung bertemu dengan Bapak kos dan Ibu kos. Mereka adalah salah satu pimpinan umat katolik di wilayah gereja di sana.

Beberapa bulan kemudian, Ibu kos bercerita tentang perasaan waktu hari pertama ketemu dengan saya, yaitu tanggal 30 Agustus 1990 malam.

Katanya, sangat takut ketemu orang Jepang. Menurutnya, beliau percaya setan atau penjahat yang datang. Saya kaget.

Orang Jepang yang Ibu kos kenal adalah hanya tentara Jepang yang ketemu pada waktu masih kecil. Tentara Jepang datang dan masyarakat semua berdiri dengan satu jalur. Ibu kos yang kecil juga ikut berdiri. Tentara Jepang memerintah menghormati dan membungkuk kepada tentara Jepang. Semua masyarakat takut dan satu demi satu dimarahi dan dipukul oleh tentara Jepang. Meskipun ini 45 tahun lalu, Ibu kos masih ingat secara jelas.

Bapak kos yang menenangkan ibu kos dengan berkata bahwa orang Jepang saat ini bukan lagi setan dan tidak mungkin dimarahi dan dipukul. Namun, ibu kos susah percaya dan membayangkan orang Jepang yang baik.

Setelah ketemu saya, ibu kos baru sadar bahwa orang Jepang juga sama-sama manusia biasa. Tidak perlu takut. Saya bukan setan, akhirnya.

Dua tahun di indikos di Rawamangun adalah sangat sangat berharga buat saya. Saya sendiri belajar banyak tentang bagaimana perasaan masyarakat biasa dengan hidup bersama-sama sehari-hari. Setelah istri saya join ke Rawamangun, ibu kos selalu ngbrol bersama istri saya dan mengajar berbagai hal untuk hidup di Jakarta.

Bapak dan Ibu kos sangat memperhatikan kepada kami. Ibu kos kuatir jika saya makan nasi hanya satu piring saja. Kalau makan nasi dua piring, beliau sangat senang. Ibu kos selalu siap makanan ringan pada sore hari seperti ubi goreng, pisang goreng, tahu isi, dll dengan kopi yang sangat manis. Akhirnya, saya menikmati berbagai makanan dan menambah banyak berat badan. Ada yang bilang sepertinya saya menjadi Doraemon.

Bapak kos dan ibu kos sering berdoa kepada kami untuk kebahagiaannya dan kesehatannya.

Saya adalah anak kos pertama dan sekarang ada sekitar 10 orang anak kos di rumahnya. Bapak/Ibu kos punya 4 anak selain saya dan saya dianggap anak tertua di dalamnya. 

Akhirnya, Bapak kos dan Ibu kos menjadi salah satu "Bapak" dan "Ibu" di Jakarta. Saya memiliki beberapa "Bapak" dan "Ibu" di Jakarta.

Ibu kos berubah imej Jepang dari ketakutan ke kesayangan. Selalu bilang ingin sekali pergi ke Jepang.

Dalam kondisi saat ini, ibu kos sering telepon kepada kami hanya untuk mendengar suaranya. Kalau ke Jakarta, saya sering mampir ke Rawamangun dan menikmati makanan yang dimasak oleh ibu kos.

Masakan Ibu kos di Rawamangun. ini soto ayam dan sate.

Comments

Popular posts from this blog

Selamat Peluncuran JAIPONG, Tapi Belum Cukup untuk Menarik Investasi dari Jepang

Hari ini (14 Oktober 2020), setelah mengikuti rekaman WEBinar Indonesia-Japan Virtual Business Forum, situs JAIPONG juga diperkenalkan. Anda bisa mengikuti Indonesia-Japan Virtual Business Forum di dalam situs yang berikut: - Indonesia-Japan Virtual Business Forum  (YouTube) - JAIPONG (Bahasa Indonesia / Bahasa Jepang) Screen Shot dari Situs JAIPON Saat ini, Indonesia bekerja keras untuk menarik investasi dari luar negeri, terutama karena mendesak pemulihan perekonomian dari dampak Covid-19. Sebenarnya, upaya penarikan investasi PMA (Penanaman Modal Asing) terlihat serius setelah mengetahuinya banyak perusahaan Tiongkok relokasi ke Vietnam dan belum ada ke Indonesia. Indonesia tidak boleh kalah dari Vietnam dalam persaigan penarikan invesitasi PMA. Dalam rangka pembangunan jangka panjang sampai tahun 2045, Indonesia harus mengatasi middle income trap (kalah dari negara yang memiliki biaya tenaga kerjanya rendah, kalah juga dari negara yang memiliki teknologi dan produktivitas ting...

[Eng] Cosmopolitan Localism and Trust

Recently, I am interested in the role of design for social innovation. Last month, I have known an Italian designer, Prof. Ezio Manzini, who wrote his book, titled "Design, When Everybody Designs: An Introduction to Design for Social Innovation". I have not yer read this book until now, but tried to watch his lecture video on this book. I learned the viewpoint of designer on social innovation, especially from social problems to social sustainability via social innovation. There are many points as he mentioned about the role of designers for social innovation. In different ways from it, I have learned the same thing as the role of facilitator or catalyst as strangers to local community. The basic role of designer looks like the same as that of facilitator.  Especially, I focused on his word "cosmopolitan localism". He tries to avoid extreme "globalization" and extreme "localization". Local community should keep a kind of equilibrium between them a...

[Eng] O-bon Festival at Home in Tokyo

As an annual tradition, we had the O-bon festival at home in Tokyo this year, too. In my hometown, Fukushima, the O-bon  festival is in mid-August (called the  Kyuu-bon,  that is Old Obon, based on old lunar calendar), but in Tokyo, it's in mid-July, called the Shin-bon (New Obon based on new solar calendar) festival. . During the Obon season, our ancestors return to this world to spend time with us, and then return to the other world, once a year. We make cow and horse from eggplant and cucumber, and decorate them as a vehicle for the ancestors to ride back to this world. On July 13th, we make a "welcoming fire ( Mukae-bi )" to welcome our ancestors. First, open the gate of the house and prepare to welcome our ancestors. After the gate is opened, an ogara  wood is placed on a roasting pan (called houroku ) like a tower. The smoke from the roasting pan is used to mark the return of our ancestors. When the burnt-out ogara is finished, a flickering red color remai...